Ringkasan Cerita "Konspirasi Alam Semesta"
KONSPIRASI ALAM SEMESTA
Fiersa
Besari
Seorang
lelaki kumal bernama Juang Astrajingga sedang mencari sebuah buku langka di
Palasari. Tak sengaja ia menabrak seorang gadis cantik ketika membalikkan badan
setelah melihat jajaran buku. Seketika itu juga jagatnya sejenak berhenti. Sang
gadis mengangguk memohon diri lantas pergi sementara lelaki itu masih
terhipnotis. Seusai mencari buku dia duduk di sebuah kedai kopi selagi siang
membakar kota. Seorang lelaki menghampiri Juang seraya berkata ada tugas meliput
dari Pak Jodi. Dia meminta mengangkat berita soal Almarhumah Shinta Akasara,
seorang sinden yang telah mengharumkan nama bangsa.
Dua
hari bersealang, lelaki itu mengemban tugasnya. Narasumber berita adalah anak
dari almarhumah. Sang narasumber berkata bahwa dirinya berada di meja nomor
sebelas dalam sebuah kafe. Tak disangka dia melihat wajah yang tak asing. Mana
mungkin dia lupa pada wajah yang pernah menghentikan jagatnya. Ana Tidae,
sebuah nama yang Juang tau dari sebuah perkenalan singkat. Pertemuan tersebut
membuat sebuah terjalinnya sebuah hubungan.
Seiring
waktu berjalan, hubungan tersebut membawa mereka berdua ke dalam sebuah
petualangan yang belum pernah Ana lakukan. Bersama dua orang teman Juang – Dude dan Annisa – mereka berempat mendaki Gunung
Slamet. Ana menganggap hal tersebut tidak ada gunanya dan hanya menghabiskan
tenaga. Setelah separuh perjalanan Ana menyadari bahwa Juang dan dia telah
terpisah dari rombongan karena kelambanan Ana yang tidak pernah mendaki. Malam
membawa mereka berdua tenggelam dalam hangatnya perbincangan, dengan ditemani
lampu kota yang menjelma menjadi bintang buatan yang tak kalah dengan bintang
di langit. Mentari pagi muncul dan mereka berdua bergegas pergi untuk menyusul
rombongan. Mereka akhirnya sampai pada puncak di mana teman Juang menunggu
dengan sebuah bendera yang bertuliskan “Ana Tidae, maukah kamu berkomitmen
denganku?”. Ana diminta
menjawab pertanyaan tersebut oleh Juang. Akhirnya dengan senang hati dia mau
berkomitmen dengan Juang.
Telepon
berdering dari saku Juang. Sebuah tugas baru menghampirinya. Namun tugas
tersebut bukan tugas biasa, namun juga pengabdiannya untuk negara. Juang beserta
timnya diminta meliput aktivitas organisasi pemberontak yang ada di Papua.
Dengan berat ia harus meninggalkan Ana untuk waktu yang cukup lama. Namun Juang
tetap mengirimkan surat secara berkala kepadanya, meskipun sekedar memberikan
kabar. Hati Ana panik ketika surat yang biasanya dia terima tiba-tiba saja
berhenti. Dia pun menanyakan kepada LSM yang bertanggung jawab. Namun tetap
saja tidak terdapat informasi yang Ana dapatkan.
Di suatu sisi, Juang yang saat itu
sudah berada di daerah pemberontak telah ketahuan. Dilihatnya seseorang
berbadan tinggi besar dan berkulit hitam tengah memperhatikan sebuah selendang
yang Juang dapatkan ketika ia berkenalan dengan seorang Mace di Pelabuhan.
Sosok yang terlihat seperti seorang jendral tersebut berbicara perihal
selendang tersebut. Ternyata jendral tersebut merupakan saudara dari Mace
tersebut. Dibawalah mereka ke daerah pedalaman yang tidak diketahui. Mereka
tidak disiksa melainkan diperbolehkan meliput aktivitas yang mereka lakukan.
Satu bulan sudah mereka berada di sana dan akhirnya mereka dibebaskan kembali
oleh para pemberontak. Sebuah pesan singkat dari Juang masuk di dalam telepon
genggam Ana. Sontak hal tersebut membuat kebahagiaan yang tak pernah Ana
rasakan selama hidupnya.
Hubungan yang mereka dalami membuat
mereka berani mengambil langkah ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan berani
Juang meminang Ana. Telah dibangunnya sebuah rumah putih di atas bukit sebagai
rumah yang akan mereka tinggali. Delapan bulan berlalu dan Ana tengah hamil
tua. Ana yang saat itu tengah bersantai di beranda rumah, diajak berbicara oleh
Juang. Dia meminta izin Ana untuk pergi ke Gunung Sinabung untuk misi
kemanusiaan. Ana yang saat itu masih tidak bisa melupakan kejadian di Papua tidak
rela suaminya meninggalkannya. Juang berusaha meyakinkan Ana agar dia
diperbolehkan pergi. Ana tahu bahwa Juang orang yang sangat keras kepala dan
pada akhirnya Ana memperbolehkan dia pergi.
Gunung Sinabung pada saat itu tengah
mengamuk. Status yang dimilikinya saat itu awas yang berarti gunung tersebut
siap untuk meletus. Juang bersama beberapa relawan pergi menuju ke desa yang
masuk ke daerah berbahaya. Mereka berusaha menyelamatkan warga yang masih
ngotot untuk tetap tinggal di rumahnya. Para relawan saat itu terbagi menjadi
beberapa kelompok untuk turun menuntun warga menuju pos yang aman. Juang
mendapatkan giliran terakhir untuk turun. Sisa waktu yang ada dimanfaatkan
Juang untuk melihat rumah-rumah yang terbengkalai tertutup debu. Didenngarnya
sebuah lagu yang keluar dari mainan anak kecil yang mengingatkannya pada masa
kecilnya dulu. Dia menghampiri mainan tersebut dan berusaha mengingat kenangan
bersama mendiang ibunya. Perhatian Juang yang tertuju pada mainan tersebut
membuat dia tidak menyadari ada bahaya yang mendekatinya. Awan panas turun dari
puncak gunung dan mengarah ke arahnya. Juang terpanggang dalam panasnya awan
tersebut dan sekarat. Pada saat evakuasinya menuju rumah sakit dia meminta
untuk merekam suaranya sebagai pesan untuk Ana. Dengan suara yang samar-samar,
dia berusaha sekuat mungkin untuk mengucapkan kalimatnya yang terakhir. Ana
yang berada di rumah tak kuat menahan tangis mendengarkan kabar yang baru saja
dia terima. Dia bergegas berangkat untuk melihat jenazah suaminya untuk yang
terakhir kali.
Sudah lima bulan Ana ditinggal
suaminya. Namun dia tidak sendiri, dia ditemani dengan seorang malaikat kecil – Ilya Astrajingga. Rupanya cantik
seperti ibunya, namun dia juga mendapakan alis dan mata seperti ayahnya. Ia
menatap buah hatinya. Kenangan tentang sang petualang akan selalu tinggal
bersamanya. Kini, jejak dari segala jejak hadir di raut wajah makhluk mungil
yang sedang tertidur. Bukan lagi hal yang perlu diratapi melainkan seagai hal
yang wajib disyukuri.
Jika di angkat jadi film..pasti kreeeeeeeennn
BalasHapusJika di angkat jadi film..pasti kreeeeeeeennn
BalasHapus